Perilaku Seksual Yang Normal Dan
Abnormal
Dalam
lingkup perilaku seksual, konsep yang kita miliki tentang apa yang normal dan
apa yang tidak sangat dipengaruhi oleh faktor sosiokultural. Sikap terhadap
homoseksualitas sangat bervariasi dari dari satu budaya ke budaya lain dan dari
waktu ke waktu. Studi pada masyarakat
dari berbagai etnis menunjukkan sikap mulai dari ketidaksetujuan hingga
toleransi dan penerimaan. Walaupun saat ini homoseksualitas tidak lagi dianggap
sebagai gangguan mental, lesbian dan gay terus menjadi target permusuhan,
ketakutan, dan prasangka yang ekstrem.
Perilaku
seksual dapat dianggap abnormal jika bersifat self-defeating, menyimpang dari norma sosial, menyakiti orang lain,
menyebabkan distres personal, atau memengaruhi kemampuan seseorang untuk
berfungsi secara normal.
Perilaku seksual dianggap normal apabila
sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat dan dianggap abnormal apabila
menyimpang dari kebiasaan yang ada di masyarakat.
Gangguan Identitas Gender
Gangguan
identitas gender adalah dimana seseorang merasa bahwa ia adalah seorang pria
atau wanita, dimana terjadi konflik antara anatomi gender seseorang dengan
identitas gendernya (Nevid, 2002). Identitas jenis kelamin adalah keadaan
psikologis yang mencerminkan perasaan dalam diri seseorang sebagai laki-laki
atau wanita (Kaplan, 2002). Fausiah (2003) berkata, identitas gender adalah
keadaan psikologis yang merefleksikan perasaan dalam diri seseorang yang
berkaitan dengan keberadaan diri sebagai laki-laki dan perempuan.
Identitas
jenis kelamin (gender identity)merupakan keadaan psikologis yang
mencerminkan perasaan yang dalam (inner sense). Didasarkan pada sikap,
perilaku, dan atribut lainnya yang ditentukan secara kultural dan berhubungan
dengan maskulinitas atau femininitas. Peran jenis kelamin (gender role):
pola perilaku eksternal yang mencerminkan perasaan dalam (inner sense)
dari identitas kelamin. Peran gender berkaitan dengan pernyataan masyarakat
tentang citra maskulin atau feminim.
Gangguan
identitas gender bisa berakhir atau berkurang pada masa remaja atau bisa
bertahan dan menyebabkan identitas transeksual serta bisa juga mengembangkan
orientasi gay atau lesbian pada saat remaja.
Kriteria
gangguan identitas gender:
1.
Berkeinginan kuat menjadi anggota gender lawan
jenisnya (berkeyakinan bahwa ia memiliki identitas gender lawan jenisnnya).
2.
Memilih memakai baju sesuai dengan stereotip gender
lawan jenisnya.
3.
Berfantasi menjadi gender lawan jenisnya atau
melakukan permainan yang dianggap sebagai permainan gender lawan jenisnya.
4.
Mempunyai keinginan berpartisipasi dalam aktivitas
permainan yang sesuai dengan stereotip lawan jenisnya
5.
Keinginan kuat untuk mempunyai teman bermain dari
gender lawan jenis (dimana biasanya pada usia anak – anak lebih tertarik untuk
mempunyai teman bermain dari gender yang sama) Pada remaja dan orang dewasa
dapat diidentifikasikan bahwa mereka berharap menjadi sosok lawan jenisnya,
berharap untuk bisa hidup sebagai anggota dari gender lawan jenisnya.
6.
Perasaan yang kuat dan menetap ketidaknyamanan pada
gender anatominya sendiri atau tingkah lakunya yang sesuai stereotip gendernya.
7.
Tidak terdapat kondisi interseks.
8.
Menyebabkan kecemasan yang serius atau mempengaruhi
pekerjaan atau sosialisasi atau yang lainnya.
9.
Gangguan identitas gender dapat berakhir pada remaja
ketika anak – anak mulai dapat menerima identitas gender. Tetapi juga dapat
terus berlangsung sampai remaja bahkan hingga dewasa sehingga mungkin menjadi
gay atau lesbian.
Awal
mula Gangguan Identitas Gender
Gangguan identitas gender bermula dari
trauma dari orang tua yang berlawan jenis, pergaulan individu, pengaruh media
massa. Kaplan (2002), gangguan identitas gender ditandai oleh perasaan
kegelisahan yang dimiliki seseorang terhadap jenis kelamin dan peran jenisnya.
Gangguan ini biasanya muncul sejak masa kanak-kanak saat usia dua hingga empat
tahun (Green dan Blanchard dalam Fausiah, 2003).
Ciri-ciri klinis dari gangguan identitas gender
:
i) Identifikasi
yang kuat terhadap gender lainnya, adanya ekspresi yang berulang dari hasrat
untuk menjadi anggota dari gender lain, preferensi untuk menggunakan pakaian
gender lain, adanya fantasi yang terus menerus mengenai menjadi lawan jenis,
bermain dengan lawan jenis.
ii) Perasaan
tidak nyaman yang kuat dan terus menerus, biasa muncul pada anak-anak dimana
anak laki-laki mengutarakan bahwa alat genitalnya menjijikkan, menolak
permainan laki-laki, sedangkan pada perempuan adanya keinginan untuk tidak
menumbuhkan buah dada, memaksa buang air kecil sambil berdiri.
Faktor – Faktor
Penyebab
Disebabkan oleh faktor biologis,
yaitu hormon, namun data yang tersedia tidak dapat mengatribusikan munculnya
transeksualisme hanya kepada hormon (Carroll, 2000). Faktor biologis lain,
seperti kelainan kromosom dan struktur otak, juga tidak dapat memberikan
penjelasan yang konklusif.
Faktor lain yang dianggap dapat
menyebabkan munculnya gangguan identitas seksual adalah faktor sosial dan
psikologis. Lingkungan rumah yang memberi reinforcement kepada anak yang
melakukan cross-dressing, misalnya, kemungkinan erkontribusi besar terhadap
konflik antara anatomi sex anak dan identitas gender yang diperolehnya (Green,
1974, 1997; Zuckerman & Green, 1993). Walaupun demikian, faktor sosial
tidak dapat menjelaskan mengapa seorang laki-laki yang dibesarkan sebagai perempuan,
bahkan dengan organ seks perempuan, tetap tidak memiliki identitas gender
perempuan dan akhirnya memilih untuk hidup sebagai laki-laki.
Teori belajar menekankan tidak
adanya figur seorang ayah pada kasus anak laki – laki menyebabkan ia tidak mendapatkan
model seorang pria.
Teori psikodinamika dan teori
belajar lainnya menjelaskan bahwa orang dengan gangguan identitas gender tidak
dipengaruhi tipe sejarah keluarganya. Faktor keluarga mungkin hanya berperan
dalam mengkombinasikan dengan kecenderungan biologisnya. Orang yang mengalami
gangguan identitas gender sering memperlihatkan gender yang berlawanan dilihat
dari pemilihan alat bermainnya dan pakaian pada masa anak – anak. Hormon
pernatal yang tidak seimbang juga mempengaruhi. Pikiran tentang maskulin dan
feminine dipengaruhi oleh hormone seks fase – fase tertentu dalam perkembangan
prenatal.
Disfungsi
Seksual
Disfungsi seksual (sexual Dysfunctions) meliputi masalah
dalam minat, rangsangan atau responseksual. Gangguan ini seringkali merupakan
sumber distres bagi orang yang mengalaminya dan bagi pasangan mereka.
Sejumlah kasus disfungsi seksual
telah ada sepanjang hidup mereka, diberi label disfungsi seumur hidup. Masalah terjadi setelah satu periode dari
fungsi normal, disfungsi yang diperoleh. Masalah
muncul ketika dalam situasi teretentu, disfungsi
situasional. Masalah muncul pada semua situasi dan pada setiap saat
melakuakan aktifitas seksual, disfungsi
menyeluruh.
Siklus Respon Seksual
DSM menjabarkan siklus respon seksual dalam empat fase
yang berbeda:
1.
Fase
Keinginan. Melibatkan fantasi seksual dan hasrat untuk melakukan
aktivitas seksual
2.
Fase
Perangsangan. Melibatkan perubahan fisik dan perasaan nikmat yang
muncul saat proses rangsanagn seksual.
3.
Fase
Orgasme. Tegangan seksual mencapai puncaknya dan dilepaskan melalui kontraksi
ritmik involunter dari otot pelvis disertai denagn perasaan nikmat. Kontraksi
yang pertama lebih kuat dan berjarak 0.8 kali detik interval. Kontraksi
selanjutnya lebih lemah dan terjadi dalam rentang yang lebih lama.
4.
Fase
Resolusi. Terjadinya relaksasi dan rasa nyaman. Pada tahap ini, pria secara
fisiologis tidak mampu mencapai ereksi dan orgasme untuk suatu periode waktu
tertentu. Namun, wanita mungkin mampu untuk mempertahankan rangsangan seksual
pada tingkat yang tinggi jika stimulasi dilanjutkan dan mengalami orgasme
ganda.
Jenis-jenis disfungsi seksual, menurut DSM digolongkan
menjadi empat, yaitu:
1. Gangguan
Hasrat Seksual
2. Gangguan
Rangsanagan Seksual
3. Gangguan
Orgasme
4. Gangguan
Sakit/Nyeri Seksual
1.
Gangguan
Gairah Seksual
a.
Dapat
merupakan fantasi seksual seseorang
b.
Keinginan
untuk memulai atau berpartisipasi dalam kegiatan seksual
c.
Kesadaran /
peka terhadap isyarat seksual dari orang lain
d.
Gangguan
gairah seksual dibagi menjadi dua, yaitu :
1.
Hypoactive
Sexual Desire Disorder, kurang atau tidak memiliki ketertarikan terhdap
aktifitas seksual
2.
Sexual
Aversion Disorder, tidak menyukai bahkan menghindari kontak alat kelamin
terhadap pasangan
2.
Gangguan
Rangsangan Seksual
Dibagi menjadi dua, yaitu :
1.
Gangguan
rangsangan seksual wanita, kesulitan memunculkan atau mempertahankan lubrikasi
2.
Gangguan
ereksi pria, kesulitan memunculkan / mempertahankan ereksi
3.
Gangguan
Orgasme
a.
Gangguan
orgasme pada wanita, hambatan yang terjadi berulang atau presisten pada orgasme
antara lain penundaan orgasme, tidak adanya orgasme
b.
Gangguan
orgasme pada pria, kesulitan mencapai ejakulasi selama melakukan hubungan
seksual atau bahkan tidak mampu sama sekali untuk mencapai ejakulasi
c.
Ejakulasi
dini, keadaan dimana seorang laki – laki secara berulang (presisten) mencapai
orgasme atau ejakulasi sebelum diharapkan
4.
Gangguan
Rasa Nyeri Seksual
a.
Dyspareunia,
rasa nyeri yang persisten atau berulang dalam melakukan hubungan seksual
b.
Vaginismus,
hanya terjadi pada wanita. Otot vagina menjadi kaku sehingga tidak bisa
penetrasi
Faktor-faktor
Penyebab
Dari perspektif biologis, kurangnya produksi testosteron dan aktifitas
tiroid yang berlebihan atau dibawah standar adalah salah satu penyebab
rendahnya hasrat seksual misalnay diabetes. Faktor biologis lainnya yang dapat
mengganggu hasrat, keterangsangan seksual, dan orgasme meliputi kondisi saraf
yang rusak seperti multiple sceloris, gangguan
paru-paru, gangguan ginjal, masalah pernafasan, kerusakan yang disebabkan
karena penyakit menular seksual, dan efek smaping dari berbagai obat-obatan.
Namun, masalah emosional seperti kecemasan dan depresi serta konflik perkawinan
dapat memperberat disfungsi tersebut.
Dilihat dari perspektif psikodinamika, diduga adanya konflik pada tahap
falik. Seksualitas genital yang matang dipercaya membutuhkan penyelesaian total
dari oedipus complex dan electra complex.
Dan pada wanita, penis envy yang
tidak terselesaikan menghasilkan rasa permusushan terhadap pria.
Dalam perspektik belajar, terdapat pengalaman fisik atau psikologis yang
menyakitkan yang dihubungkan denagn aktivitas seksual dapat menyebabkan
seseorang merespon hubungan seksual denagn kecemasan yang cukup kuat yang dapat
mecegah kenikmatan dan performa seksual. Pemenuhan seksual juga didasarkan pada
belajar keterampilan sosial melalui trial-error,
self-exploration, membaca tentang teknik seks, berbicara atau menonton film
atau rekaman seks.
Parafilia
Berasal dari kata “Para” yang
berarti penyimpangan pada apa yang membuat orang tertarik “philia” mengacu pada sekelompok gangguan yang melibatkan
ketertarikan seksual terhadap objek yang tidak biasa atau aktifitas seksual
yang tidak biasa. Karakteristik Parafilia:
1.
Selama
periode minimal 6 bulan
2.
Berulang
kali
3.
Fantasi
seksual yang intens
4.
Dorongan
seksual, atau perilaku yang memperlihatkan kelamin kepada orang asing atau yang
tidak dikenal
Macam – macam Parafilia :
· Fetishism, ketergantungan seseorang pada objek yang tidak hidup untuk
memperoleh rangsangan seksual.
· Transvestism Fetishism, hanya
ditemukan pada pria, pria mendapatkan kepuasaan seksual dengan menggunakan
pakaian wanita.
· Seksual sadism, kegemaran untuk memperoleh atau meningkatkan kepuasaan
seksual dengan menimbulkan kesakitan atau penderitaan psikologis misalnya
mempermalukan pada orang lain
· Seksual masochism, kegemaran seseorang untuk memperoleh atau meningkatkan
kepuasaan seksual dengan menjadikan dirinya sebagai subjek untuk disakiti atau
dipermalukan, sering dalam bentuk flagellation (dipukul
atau dicambuk). Ekspresi yang paling berbahaya adalah Hipoksifilia, dimana partisipan merasa terangsang secara seksual
dengan dikurangi konsumsi oksigennya.
· Voyeurism, memperoleh kepuasan seksual dengan melihat orang lain dalam
keadaan tanpa busana atau sedang melakukan hubungan seksual dimana
mereka tidak menduganya.
· Exhibitionism, memperoleh kepuasaan seksual dengan mempertunjukan alat
kelaminnya pada orang lain dengan tujuan agar korban terkejut, syok, atau terangsang
secara seksual dan korban hampir selalu wanita. Pria dengan gangguan ini
cenderung pemalu, tergantung, serta kurang memiliki keterampilan sosial dan
seksual, bahkan terhambat secara sosial.
· Frotteurism, menyentuh kelamin orang lain tanpa izin
dan biasanya terjadi di tempat-tempat ramai.
· Pedophilia, adalah orang dewasa yang memperoleh kepuasaan seksual melalui
kontak fisik dan seksual dengan anak prabupertas.
· Parafilia
lainnya, termasuk diantaranya melakuakn panggilan telepon gelap,
nekrofilia(kontak seksual dengan mayat), partialisme(fokus hanya pada satu
bagian tubuh), zoofilia(kontak seksual dengan binatang), koprofilia(rangsangan
seksual terkait dengan kotoran manusia), klismafilia(obat pencahar), dan
urofilia(urein).
Perspektif Teoritis
Dalam psikodinamika, parafilia
sebagai pertahanan terhadap kecemasan kastrasiyang tersisa pada periode oedipal
sehingga memindahkan rangsangan seksual pada aktivitas yang lebih aman. Para
teoritikus belajar menjelaskan parafilia dalam kaitannya dengan conditioning dan observational learning. Sejumlah objek atau aktivitas secara tidak
sengaja dihubungkan dengan rangsangan seksual kemudian mendapat kapasitas
rangsangan seksual.
Penanganan Parafilia
Mereka biasanya tidak mencari
penanganan atas inisiatif sendiri.namun demikian, sejumlah bentuk penanganan ,
terutama terapi perilaku dan terapi kognitif-behavioral (CBT), dapat membantu
pelaku penyerangan seksual yang ingin mengubah perilaku mereka.
Daftar
Pustaka
Durank, V.
Mark & David H. Barlow. 2006. Psikologi Abnormal. Yoryakarta:
Pustaka Pelajar
Fausiah,
Fitri. 2003. Bahan ajar mata kuliah psikologi abnormal (klinis dewasa).
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Kaplan,
Harold I., Sadock, Benjamin J, Grebb, Jack A. 2002. Sinopsis psikiatri ilmu
pengetahuan psiatri klinis. Jakarta: Binarupa Aksara.
Nevid,
Jeffrey S., Rathus, Spencer A., Greene, Beverly. 2002. Psikologi abnormal
jilid dua edisi kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar