Senin, 12 Desember 2016

GANGGUAN IDENTITAS DAN SEKSUAL (IDENTITY AND SEXUAL DYSFUNCTION DISORDER)



Perilaku Seksual Yang Normal Dan Abnormal
Dalam lingkup perilaku seksual, konsep yang kita miliki tentang apa yang normal dan apa yang tidak sangat dipengaruhi oleh faktor sosiokultural. Sikap terhadap homoseksualitas sangat bervariasi dari dari satu budaya ke budaya lain dan dari waktu ke waktu. Studi pada  masyarakat dari berbagai etnis menunjukkan sikap mulai dari ketidaksetujuan hingga toleransi dan penerimaan. Walaupun saat ini homoseksualitas tidak lagi dianggap sebagai gangguan mental, lesbian dan gay terus menjadi target permusuhan, ketakutan, dan prasangka yang ekstrem.
Perilaku seksual dapat dianggap abnormal jika bersifat self-defeating, menyimpang dari norma sosial, menyakiti orang lain, menyebabkan distres personal, atau memengaruhi kemampuan seseorang untuk berfungsi secara normal.
Perilaku seksual dianggap normal apabila sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat dan dianggap abnormal apabila menyimpang dari kebiasaan yang ada di masyarakat.

Gangguan Identitas Gender
Gangguan identitas gender adalah dimana seseorang merasa bahwa ia adalah seorang pria atau wanita, dimana terjadi konflik antara anatomi gender seseorang dengan identitas gendernya (Nevid, 2002). Identitas jenis kelamin adalah keadaan psikologis yang mencerminkan perasaan dalam diri seseorang sebagai laki-laki atau wanita (Kaplan, 2002). Fausiah (2003) berkata, identitas gender adalah keadaan psikologis yang merefleksikan perasaan dalam diri seseorang yang berkaitan dengan keberadaan diri sebagai laki-laki dan perempuan.
Identitas jenis kelamin (gender identity)merupakan keadaan psikologis yang mencerminkan perasaan yang dalam (inner sense). Didasarkan pada sikap, perilaku, dan atribut lainnya yang ditentukan secara kultural dan berhubungan dengan maskulinitas atau femininitas. Peran jenis kelamin (gender role): pola perilaku eksternal yang mencerminkan perasaan dalam (inner sense) dari identitas kelamin. Peran gender berkaitan dengan pernyataan masyarakat tentang citra maskulin atau feminim.
Gangguan identitas gender bisa berakhir atau berkurang pada masa remaja atau bisa bertahan dan menyebabkan identitas transeksual serta bisa juga mengembangkan orientasi gay atau lesbian pada saat remaja.
Kriteria gangguan identitas gender:
1.    Berkeinginan kuat menjadi anggota gender lawan jenisnya (berkeyakinan bahwa ia memiliki identitas gender lawan jenisnnya).
2.    Memilih memakai baju sesuai dengan stereotip gender lawan jenisnya.
3.    Berfantasi menjadi gender lawan jenisnya atau melakukan permainan yang dianggap sebagai permainan gender lawan jenisnya.
4.    Mempunyai keinginan berpartisipasi dalam aktivitas permainan yang sesuai dengan stereotip lawan jenisnya
5.    Keinginan kuat untuk mempunyai teman bermain dari gender lawan jenis (dimana biasanya pada usia anak – anak lebih tertarik untuk mempunyai teman bermain dari gender yang sama) Pada remaja dan orang dewasa dapat diidentifikasikan bahwa mereka berharap menjadi sosok lawan jenisnya, berharap untuk bisa hidup sebagai anggota dari gender lawan jenisnya.
6.    Perasaan yang kuat dan menetap ketidaknyamanan pada gender anatominya sendiri atau tingkah lakunya yang sesuai stereotip gendernya.
7.    Tidak terdapat kondisi interseks.
8.    Menyebabkan kecemasan yang serius atau mempengaruhi pekerjaan atau sosialisasi atau yang lainnya.
9.    Gangguan identitas gender dapat berakhir pada remaja ketika anak – anak mulai dapat menerima identitas gender. Tetapi juga dapat terus berlangsung sampai remaja bahkan hingga dewasa sehingga mungkin menjadi gay atau lesbian.

Awal mula Gangguan Identitas Gender
Gangguan identitas gender bermula dari trauma dari orang tua yang berlawan jenis, pergaulan individu, pengaruh media massa. Kaplan (2002), gangguan identitas gender ditandai oleh perasaan kegelisahan yang dimiliki seseorang terhadap jenis kelamin dan peran jenisnya. Gangguan ini biasanya muncul sejak masa kanak-kanak saat usia dua hingga empat tahun (Green dan Blanchard dalam Fausiah, 2003).
Ciri-ciri klinis dari gangguan identitas gender :
i)     Identifikasi yang kuat terhadap gender lainnya, adanya ekspresi yang berulang dari hasrat untuk menjadi anggota dari gender lain, preferensi untuk menggunakan pakaian gender lain, adanya fantasi yang terus menerus mengenai menjadi lawan jenis, bermain dengan lawan jenis.
ii)   Perasaan tidak nyaman yang kuat dan terus menerus, biasa muncul pada anak-anak dimana anak laki-laki mengutarakan bahwa alat genitalnya menjijikkan, menolak permainan laki-laki, sedangkan pada perempuan adanya keinginan untuk tidak menumbuhkan buah dada, memaksa buang air kecil sambil berdiri.

Faktor – Faktor Penyebab
Disebabkan oleh faktor biologis, yaitu hormon, namun data yang tersedia tidak dapat mengatribusikan munculnya transeksualisme hanya kepada hormon (Carroll, 2000). Faktor biologis lain, seperti kelainan kromosom dan struktur otak, juga tidak dapat memberikan penjelasan yang konklusif.
Faktor lain yang dianggap dapat menyebabkan munculnya gangguan identitas seksual adalah faktor sosial dan psikologis. Lingkungan rumah yang memberi reinforcement kepada anak yang melakukan cross-dressing, misalnya, kemungkinan erkontribusi besar terhadap konflik antara anatomi sex anak dan identitas gender yang diperolehnya (Green, 1974, 1997; Zuckerman & Green, 1993). Walaupun demikian, faktor sosial tidak dapat menjelaskan mengapa seorang laki-laki yang dibesarkan sebagai perempuan, bahkan dengan organ seks perempuan, tetap tidak memiliki identitas gender perempuan dan akhirnya memilih untuk hidup sebagai laki-laki.
Teori belajar menekankan tidak adanya figur seorang ayah pada kasus anak laki – laki menyebabkan ia tidak mendapatkan model seorang pria.
Teori psikodinamika dan teori belajar lainnya menjelaskan bahwa orang dengan gangguan identitas gender tidak dipengaruhi tipe sejarah keluarganya. Faktor keluarga mungkin hanya berperan dalam mengkombinasikan dengan kecenderungan biologisnya. Orang yang mengalami gangguan identitas gender sering memperlihatkan gender yang berlawanan dilihat dari pemilihan alat bermainnya dan pakaian pada masa anak – anak. Hormon pernatal yang tidak seimbang juga mempengaruhi. Pikiran tentang maskulin dan feminine dipengaruhi oleh hormone seks fase – fase tertentu dalam perkembangan prenatal.

Disfungsi Seksual
Disfungsi seksual (sexual Dysfunctions) meliputi masalah dalam minat, rangsangan atau responseksual. Gangguan ini seringkali merupakan sumber distres bagi orang yang mengalaminya dan bagi pasangan mereka.
Sejumlah kasus disfungsi seksual telah ada sepanjang hidup mereka, diberi label disfungsi seumur hidup. Masalah terjadi setelah satu periode dari fungsi normal, disfungsi yang diperoleh. Masalah muncul ketika dalam situasi teretentu, disfungsi situasional. Masalah muncul pada semua situasi dan pada setiap saat melakuakan aktifitas seksual, disfungsi menyeluruh.
Siklus Respon Seksual
DSM menjabarkan siklus respon seksual dalam empat fase yang berbeda:
1.    Fase Keinginan. Melibatkan fantasi seksual dan hasrat untuk melakukan aktivitas seksual
2.    Fase Perangsangan. Melibatkan perubahan fisik dan perasaan nikmat yang muncul saat proses rangsanagn seksual.
3.    Fase Orgasme. Tegangan seksual mencapai puncaknya dan dilepaskan melalui kontraksi ritmik involunter dari otot pelvis disertai denagn perasaan nikmat. Kontraksi yang pertama lebih kuat dan berjarak 0.8 kali detik interval. Kontraksi selanjutnya lebih lemah dan terjadi dalam rentang yang lebih lama.
4.    Fase Resolusi. Terjadinya relaksasi dan rasa nyaman. Pada tahap ini, pria secara fisiologis tidak mampu mencapai ereksi dan orgasme untuk suatu periode waktu tertentu. Namun, wanita mungkin mampu untuk mempertahankan rangsangan seksual pada tingkat yang tinggi jika stimulasi dilanjutkan dan mengalami orgasme ganda.
Jenis-jenis disfungsi seksual, menurut DSM digolongkan menjadi empat, yaitu:
1.      Gangguan Hasrat Seksual
2.      Gangguan Rangsanagan Seksual
3.      Gangguan Orgasme
4.      Gangguan Sakit/Nyeri Seksual 

1.    Gangguan Gairah Seksual
a.    Dapat merupakan fantasi seksual seseorang
b.    Keinginan untuk memulai atau berpartisipasi dalam kegiatan seksual
c.    Kesadaran / peka terhadap isyarat seksual dari orang lain
d.   Gangguan gairah seksual dibagi menjadi dua, yaitu :
1.    Hypoactive Sexual Desire Disorder, kurang atau tidak memiliki ketertarikan terhdap aktifitas seksual
2.    Sexual Aversion Disorder, tidak menyukai bahkan menghindari kontak alat kelamin terhadap pasangan

2.    Gangguan Rangsangan Seksual
Dibagi menjadi dua, yaitu :
1.    Gangguan rangsangan seksual wanita, kesulitan memunculkan atau mempertahankan lubrikasi
2.    Gangguan ereksi pria, kesulitan memunculkan / mempertahankan ereksi

3.    Gangguan Orgasme
a.    Gangguan orgasme pada wanita, hambatan yang terjadi berulang atau presisten pada orgasme antara lain penundaan orgasme, tidak adanya orgasme
b.    Gangguan orgasme pada pria, kesulitan mencapai ejakulasi selama melakukan hubungan seksual atau bahkan tidak mampu sama sekali untuk mencapai ejakulasi
c.    Ejakulasi dini, keadaan dimana seorang laki – laki secara berulang (presisten) mencapai orgasme atau ejakulasi sebelum diharapkan

4.    Gangguan Rasa Nyeri Seksual
a.    Dyspareunia, rasa nyeri yang persisten atau berulang dalam melakukan hubungan seksual
b.    Vaginismus, hanya terjadi pada wanita. Otot vagina menjadi kaku sehingga tidak bisa penetrasi
  
Faktor-faktor Penyebab
Dari perspektif biologis, kurangnya produksi testosteron dan aktifitas tiroid yang berlebihan atau dibawah standar adalah salah satu penyebab rendahnya hasrat seksual misalnay diabetes. Faktor biologis lainnya yang dapat mengganggu hasrat, keterangsangan seksual, dan orgasme meliputi kondisi saraf yang rusak seperti multiple sceloris, gangguan paru-paru, gangguan ginjal, masalah pernafasan, kerusakan yang disebabkan karena penyakit menular seksual, dan efek smaping dari berbagai obat-obatan. Namun, masalah emosional seperti kecemasan dan depresi serta konflik perkawinan dapat memperberat disfungsi tersebut.
Dilihat dari perspektif psikodinamika, diduga adanya konflik pada tahap falik. Seksualitas genital yang matang dipercaya membutuhkan penyelesaian total dari oedipus complex dan electra complex. Dan pada wanita, penis envy yang tidak terselesaikan menghasilkan rasa permusushan terhadap pria.
Dalam perspektik belajar, terdapat pengalaman fisik atau psikologis yang menyakitkan yang dihubungkan denagn aktivitas seksual dapat menyebabkan seseorang merespon hubungan seksual denagn kecemasan yang cukup kuat yang dapat mecegah kenikmatan dan performa seksual. Pemenuhan seksual juga didasarkan pada belajar keterampilan sosial melalui trial-error, self-exploration, membaca tentang teknik seks, berbicara atau menonton film atau rekaman seks.

Parafilia
Berasal dari kata “Para” yang berarti penyimpangan pada apa yang membuat orang tertarik “philia” mengacu pada sekelompok gangguan yang melibatkan ketertarikan seksual terhadap objek yang tidak biasa atau aktifitas seksual yang tidak biasa. Karakteristik Parafilia:
1.      Selama periode minimal 6 bulan
2.      Berulang kali
3.      Fantasi seksual yang intens
4.      Dorongan seksual, atau perilaku yang memperlihatkan kelamin kepada orang asing atau yang tidak dikenal
Macam – macam Parafilia :
·      Fetishism, ketergantungan seseorang pada objek yang tidak hidup untuk memperoleh rangsangan seksual.
·      Transvestism Fetishism, hanya ditemukan pada pria, pria mendapatkan kepuasaan seksual dengan menggunakan pakaian wanita.
·      Seksual sadism, kegemaran untuk memperoleh atau meningkatkan kepuasaan seksual dengan menimbulkan kesakitan atau penderitaan psikologis misalnya mempermalukan pada orang lain
·      Seksual masochism, kegemaran seseorang untuk memperoleh atau meningkatkan kepuasaan seksual dengan menjadikan dirinya sebagai subjek untuk disakiti atau dipermalukan, sering dalam bentuk flagellation (dipukul atau dicambuk). Ekspresi yang paling berbahaya adalah Hipoksifilia, dimana partisipan merasa terangsang secara seksual dengan dikurangi konsumsi oksigennya.
·      Voyeurism, memperoleh kepuasan seksual dengan melihat orang lain dalam keadaan tanpa busana atau sedang melakukan hubungan seksual dimana mereka tidak menduganya.
·      Exhibitionism, memperoleh kepuasaan seksual dengan mempertunjukan alat kelaminnya pada orang lain dengan tujuan agar korban terkejut, syok, atau terangsang secara seksual dan korban hampir selalu wanita. Pria dengan gangguan ini cenderung pemalu, tergantung, serta kurang memiliki keterampilan sosial dan seksual, bahkan terhambat secara sosial.
·      Frotteurism, menyentuh kelamin orang lain tanpa izin dan biasanya terjadi di tempat-tempat ramai.
·      Pedophilia, adalah orang dewasa yang memperoleh kepuasaan seksual melalui kontak fisik dan seksual dengan anak prabupertas.
·      Parafilia lainnya, termasuk diantaranya melakuakn panggilan telepon gelap, nekrofilia(kontak seksual dengan mayat), partialisme(fokus hanya pada satu bagian tubuh), zoofilia(kontak seksual dengan binatang), koprofilia(rangsangan seksual terkait dengan kotoran manusia), klismafilia(obat pencahar), dan urofilia(urein).
Perspektif Teoritis
Dalam psikodinamika, parafilia sebagai pertahanan terhadap kecemasan kastrasiyang tersisa pada periode oedipal sehingga memindahkan rangsangan seksual pada aktivitas yang lebih aman. Para teoritikus belajar menjelaskan parafilia dalam kaitannya dengan conditioning dan observational learning. Sejumlah objek atau aktivitas secara tidak sengaja dihubungkan dengan rangsangan seksual kemudian mendapat kapasitas rangsangan seksual.
Penanganan Parafilia
Mereka biasanya tidak mencari penanganan atas inisiatif sendiri.namun demikian, sejumlah bentuk penanganan , terutama terapi perilaku dan terapi kognitif-behavioral (CBT), dapat membantu pelaku penyerangan seksual yang ingin mengubah perilaku mereka.

Daftar Pustaka

Durank, V. Mark & David H. Barlow. 2006. Psikologi Abnormal. Yoryakarta: Pustaka Pelajar
Fausiah, Fitri. 2003. Bahan ajar mata kuliah psikologi abnormal (klinis dewasa). Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Kaplan, Harold I., Sadock, Benjamin J, Grebb, Jack A. 2002. Sinopsis psikiatri ilmu pengetahuan psiatri klinis. Jakarta: Binarupa Aksara.
Nevid, Jeffrey S., Rathus, Spencer A., Greene, Beverly. 2002. Psikologi abnormal jilid dua edisi kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar